Iklim kehidupan modern yang sangat dinamis, seringkali memaksa banyak manusia mencari terbosan-terobosan baru dan jalan alternatif agar berhasil memenangkan persaingan. Sayangnya banyak orang yang kurang sabar, kemudian mengambil jalan pintas yang salah atau menghalalkan segala cara demi meraih tujuan keberhasilannya. Mengapa demikian ? Inilah indikasi karena banyaknya manusia yang tidak kokoh jiwanya.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, mudah sekali kita menemukan orang yang mengaku beragama, pergi ke tempat-tempat ibadah, tetapi ketika dalam pekerjaan melakukan penyelewengan, korupsi, penipuan dan tindak pidana lainnya yang tidak sesusai dengan akhlaq umat beragama. Mengapa demikian ? Inilah indikasi bahwa banyak manusia yang meskipun mungkin beragama tetapi lemah jiwanya. Tidak berkualitas jiwanya.
Mudah kita menemukan orang yang terlihat meraih sukses profesional dalam karier dan bisnis, tetapi kesuksesannya tidak memberikan makna bagi hidupnya. Meskipun berhasil meraih kekayaan yang berlimpah, namun kekayaannya tidak memberikan arti bagi kualitas kebahagiaan hidupnya. Bahkan banyak yang berakhir dengan kesia-siaan dan kegagalan hidup. Mengapa demikian ? Inilah akibat dari manusia yang lemah jiwanya.
Bagaimana mendongkrak kekuatan jiwa kita ? Bagaimana meningkatkan kualitas jiwa kita ?
1. Memahami Hakekat Hidup
Melakukan "inner journey" ke dalam diri kita sendiri dapat mengantarkan manusia menemukan hakekat hidupnya. Mereka yang mengenali dirinya akan dapat menemukan siapa Tuhannya yang sebenarnya. Pada akhirnya akan dapat memahami posisi dirinya dan mengerti tujuan tertinggi hidupnya. Memahami hakekat hidup ini dapat mengantarkan manusia memiliki kekuatan jiwa. Karena manusia dapat memahami siapa dirinya dan siapa Tuihannya yang sebenarnya.
2. Mencari ilmu lebih besar
Mencari ilmu lebih besar dari mencari harta. Karena orang yang berilmu tinggi tidak akan mudah tergoda oleh berbagai hal yang dapat melemahkan jiwanya. Sayangnya kecenderungan yang terjadi banyak manusia yang lebih besar mencari harta dari pada mencari ilmu. Akibatnya mudah tergoda melalui cara yang salah, mendewakan harta dan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan kekayaan harta. Mudah terjebak dalam godaan kehidupan dunia dengan mengabaikan nilai-nilai spiritualitas kebenaran.
Sedangkan orang yang berilmu akan kuat jiwanya, karena dirinya mengetahui pintu-pintu syaithan dan lebih mampu menjaga ibadahnya, menjaga kekayaannya, menjaga kekuasaannya, menjaga kehidupannya dari riya dengan ilmu (ma'rifat)-nya yang dalam.
3. Mengendalikan Ego Dan Nafsu
Seorang ulama Ibnu Qoyyim Az-Zaujiyah berkata : "Syahwat itu seperti kuda liar. Untuk menjinakkannya dan menaikinya perlu waktu lama dan pengorbanan yang tidak sedikit Karena itu jadilah orang yang mengendalikan kuda."
Inilah perang terbesar sesungguhnya dalam kehidupan manusia. Banyak manusia yang kalah dan akhirnya menjadi orang yang berjiwa lemah. Terjerumus dalam kekangan hawa nafsunya. Mereka memperturutkan hawa nafsunya dengan menghalalkan segala cara.
Ego dan nafsu seringkali membawa seseorang pada perasaan serba kurang, serba tidak cukup, merasa tidak pernah puas dengan apa yang diraih, sehingga menjadi manusia yang tidak mudah bersyukur. Hidup seperti ini menjadikan jiwanya lemah dan serba tidak damai dalam hatinya. Namun sebaliknya mereka yang memiliki kemampuan mengendalikan ego dan nafsu pribadinya akan menjadi manusia yang mudah bersyukur dan menjadikan dirinya selalu merasa hidupnya berkecukupan dan damai.
4. Keseimbangan Hidup
Orang bijak mengatakan, "Barangsiapa yang mengejar dunia semata, maka dunia akan semakin menjauh dan semakin tak terkejar. Tetapi, barangsiapa yang mengejar akhirat dengan keikhlasan hatinya, maka yakinlah bahwa dunia akan mengejarnya." Maknanya adalah bagaimana kita dapat menyeimbangkan kehidupan ini dengan tetap realistis dalam kehidupan modern ini tanpa mengabaikan tujuan tertinggi kehidupan akhirat nanti.
Berusaha memperjuangkan keberhasilan professional dalam karier dan Bisnis, dengan tidak mengabaikan nilai-nilai kekayaan hati nurani. Meraih simbul-simbul kesuksesan duniawi melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syariat yang ditetapkan Tuhan. Dapat menggunakan simbul-simbul kesuksesan duniawi yang diperolehnya untuk memberikan manfaat bagi kesuksesan kehidupan akhiratnya. Inilah yang saya maksukan dengan memandang kehidupan dengan seimbang. Tetap realistis dalam kehidupan modern dengan tetap memiliki idealisme pada nilai-nilai spiritualitas. SEMOGA BERMANFAAT.
Perbedaan antara ORANG GAGAL DAN SUKSES bukan sekedar terletak pada modal dan pengetahuannya, tapi lebih dari itu, karena kuatnya hasrat mereka dalam memperjuangkan kesuksesan.
MENGOBATI PENYAKIT HATI DENGAN AL QUR’AN
Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.
PERJUANGAN MERAIH HIDAYAH
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”
ISTIQAMAH DI ATAS JALAN YANG LURUS Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati.
Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan yang lurus, dan semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk membersihkan segenap gerak-gerik hati dan anggota badan kita dari noda syirik, bid’ah, dan kemaksiatan sehingga kita akan bisa menikmati ketentraman dan hidayah yang sempurna; baik ketika di dunia maupun nanti ketika di akherat.