hunter_science
package selamatdatang; public class SelamatDatang { /** * @param args */ public static void main(String[] args) { // TODO Auto-generated method stub System.out.println("Selamat Datang!"); } }
akhlak yang baik membawa kita ketempat yang baik ^_^
Sahabat Indonesia

    Apakah anda pernah dalam situasi GAGAL dalam sesuatu atau merasakan PERCAYA DIRI  menurun ketika akan melakukan sesuatu hal. KEGAGALAN bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, melainkan bagaimana kita bisa bangun dan belajar dari KEGAGALAN tersebut. Salah satunya adalah dengan memotivasi diri sendiri.
Berikut ini saya akan meberikan tips bagaimana cara MEMOTIVASI DIRI sendiri:

1.    FOKUS dengan tujuan yang anda inginkan, ketika menemukan kesulitan jangan pernah menyerah, berusahalah FOKUS  dengan apa yang anda inginkan, jangan FOKUS dengan KEGAGALAN yang pernah anda lakukan.

2.    Mulailah membaca cerita sukses para pemimpin/motivator  yang anda sukai. Dengan belajar dari pengalaman orang lain merupakan suatu pembelajaran yang besar yang bisa ditiru kesuksesannya.

3.    Jadikanlah FEEDBACK  dari orang lain sebagai pembelajaran.

4.    Tuliskan perkembangan dari tujuan yang anda capai, dari sini lihatlah hal yang POSITIF yang sudah anda lakukan.

5.    Ketika anda mencapai TUJUAN anda, rayakanlah dan appreciate diri anda atas pencapaian yang anda lakukan.

6.    Belajarlah dari KESALAHAN, dan tumbuhkanlah pikiran POSITIF di fikiran anda.

7.    Buatlah hidup anda FUN dan selalu BERSEMANGAT.

Memotivasi diri sendiri adalah berasal dari kemauan anda untuk sejauh mana melakukannya, KESUKSESAN itu ada jika anda menciptakannya, BEKERJA KERAS dan lakukan yang terbaik.
PASTI  BISA Semangat?.


Semangat Indonesia,
KIAT MENGGAPAI AKHLAK MULIA
1.Dermawan


Kedermawanan merupakan sifat yang dicintai dan terpuji. Sebagaimana sifat
bakhil (pelit) adalah sifat yang tercela dan mengundang kebencian orang lain. Sifat dermawan akan menumbuhkan kecintaan dan menyingkirkan permusuhan. Dengan sifat itulah nama baik akan terjaga dan aib-aib akan tertutupi. Apabila seseorang telah menghiasi dirinya dengan sifat dermawan maka akan sucilah jiwanya. Dengan demikian akan mengangkat dirinya untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak, keutamaan yang tinggi. Maka orang yang dermawan amat sangat dekat dengan segala kebaikan dan kebajikan.

2. Melupakan Perbuatan Baiknya Kepada Orang Lain

Ini merupakan tingkatan yang tinggi serta mulia. Yaitu dengan cara melupakan kebaikan yang pernah anda lakukan kepada orang lain hingga sepertinya hal itu tidak pernah anda lakukan. Barangsiapa yang ingin meraih kemuliaan akhlak hendaknya dia berusaha melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya kepada orang lain. Hal itu supaya dia terbebas dari perasaan berjasa dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain. Dan juga supaya dia semakin meningkat menuju kemuliaan akhlak yang lebih tinggi lagi.

3. Merasa Senang Dengan Perlakuan Baik Orang Lain Meski Hanya Sedikit

Yaitu dengan menerima kebaikan orang lain meskipun hanya sepele. Dan tidak menuntut mereka untuk membalas kebaikannya dengan persis serupa. Sehingga dia tidak akan menyulitkan orang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Abdullah bin Az-Zubair mengatakan, “Allah memerintahkan Nabinya untuk suka memberikan maaf dan toleransi terhadap kekurangan akhlak orang lain.”

4. Mengharapkan Pahala Dari Allah

Perkara ini merupakan salah satu sebab utama untuk bisa menggapai akhlak yang mulia. Dengan hal ini orang akan mudah untuk bersabar, beramal dengan sungguh-sungguh, dan tabah dalam menghadapi gangguan orang lain. Apabila seorang muslim meyakini bahwa Allah pasti akan membalas kebaikan akhlaknya, niscaya dia akan bersemangat untuk memiliki akhlak-akhlak yang mulia, dan rintangan yang dijumpainya akan terasa ringan.

5. Menjauhi Sebab-Sebab Marah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah! Berikanlah wasiat kepadaku.” Maka beliau mengatakan, “Jangan marah!.” (HR. Bukhari)

6. Menjauhi Perdebatan

Perdebatan akan memunculkan permusuhan serta menyisakan perpecahan. Bahkan perdebatan juga terkadang menyebabkan kedustaan. Kalaupun memang terpaksa harus berdebat maka hendaknya berdebat dengan cara yang santun serta didasari niat untuk mencari kebenaran dan menggunakan cara yang lebih baik dan lebih lembut. Allah berfirman yang artinya, “Dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagian bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada di pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga yang tinggi bagi orang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Dawud)

7. Saling Menasihati Agar Berakhlak Baik

Yaitu dengan mengingat-ingat keutamaan akhlak mulia dan memberikan peringatan keras dari keburukan akhlak. Dan juga memberikan nasihat kepada orang yang berakhlak buruk agar menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia termasuk kebenaran yang harus dipesankan kepada yang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 3).
8. Menerima Nasihat yang Sopan dan Kritikan yang Membangun

Hal ini termasuk sebab yang dapat memudahkan untuk bisa memiliki akhlak yang mulia dan mengikis akhlak yang jelek. Bagi orang yang diberi nasihat maka hendaknya dia menerimanya dengan lapang dada. Bahkan sudah semestinya bagi orang-orang yang merindukan kesempurnaan -apalagi yang berkedudukan sebagai pemimpin- untuk meminta saran kepada orang-orang tertentu yang dia percayai untuk mengetahui dan mengoreksi kesalahan dan kekurangan dirinya. Dan hendaknya dia menyambut nasihat dan koreksi yang mereka berikan dengan perasaan senang dan gembira.

9. Menunaikan Tugasnya Dengan Sebaik-Baiknya

Dengan melakukan yang demikian dia akan terbebas dari celaan dan kehinaan diri akibat suka mencari-cari alasan demi menutupi kekeliruannya.

10. Mengakui Kesalahan

Ini merupakan salah satu ciri akhlak yang mulia dan karakter orang yang memiliki cita-cita yang tinggi. Dengan mengakui kesalahan maka dirinya akan bersih dari tindakan dusta dan suka mengobarkan pertikaian. Karena itulah mengakui kesalahan adalah sebuah keutamaan yang akan mengangkat derajat pelakunya.

11. Senantiasa Bersikap Lemah Lembut dan Tidak Tergesa-Gesa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan pasti akan memperindahnya. Dan tidaklah dia dicabut dari sesuatu melainkan dia akan memperburuknya.” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

12. Rendah hati

Kerendahan hati merupakan tanda kebesaran jiwa seseorang, cita-citanya yang tinggi dan merupakan jalan untuk menggapai kemuliaan-kemuliaan. Hal itu merupakan akhlak yang akan mengangkat kedudukan pemiliknya dan membuahkan keridaan orang-orang yang baik dan memiliki keutamaan kepada dirinya. Sehingga hal itu akan memudahkan dan memotivasi dirinya untuk bisa mengambil pelajaran dari siapapun. Dan sifat itulah yang akan menghalangi dirinya dari karakter sombong dan tinggi hati.

13. Mudarah/bersikap ramah

Umat manusia diciptakan untuk berkumpul bukan untuk saling mengasingkan diri. Mereka diciptakan untuk saling mengenal bukan untuk saling memusuhi. Dan mereka juga diciptakan untuk saling menolong bukan untuk mengurusi segala keperluan hidupnya sendirian. Salah satu kebijaksanaan aturan Allah yang dapat menjaga manusia dari sikap saling memutuskan hubungan dan kasih sayang adalah adanya ajaran mudarah yaitu menyikap orang dengan tetap ramah dan sopan. Karena mudarah akan menumbuhkan kedekatan dan kecintaan. Dengannya pendapat yang saling berseberangan akan bisa disatukan dan hati yang saling menjauhi bisa direkatkan. Bentuk mudarah ialah dengan menjumpai orang dalam kondisi yang baik, ucapan yang lembut serta menjauhi sebab-sebab terpicunya kemarahan dan kebencian kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang menuntut hal itu memang harus ditampakkan. Di antara bentuk mudarah yaitu anda bersikap ramah dan mau duduk bersama orang yang sebenarnya anda musuhi, anda berbicara dengannya dengan santun dan menghormati keberadaannya. Bahkan terkadang dengan mudarah itulah permusuhan akan padam dan berubah menjadi persahabatan. Al-Hasan mengatakan, “Pertanyaan yang bagus adalah separuh ilmu. Bersikap mudarah kepada orang lain adalah separuh akal…”

14. Jujur


Kejujuran akan mengantarkan kepada kemuliaan dan membebaskan manusia dari nistanya kedustaan. Selain itu kejujuran pula akan membentengi dirinya dari kejelekan orang lain kepadanya. Sebagaimana ia akan membuatnya memiliki harga diri dan kewibawaan yang tinggi, keberanian dan percaya diri. Sesungguhnya dengan kejujuran itulah orang akan terbimbing menuju kebaikan dan salah satu bentuk kebaikan itu adalah akhlak yang mulia.

15. Menjauhi Sikap Terlalu Banyak Mencela Orang yang Berbuat Jelek

Sudah selayaknya orang yang berakal menjauhi sikap berlebihan dalam mencaci orang lain yang berlaku buruk kepadanya. Apalagi jika dia adalah orang yang masih belum mengerti apa-apa. Atau dia adalah orang yang jarang sekali berbuat jelek. Terlalu banyak mencaci akan mengobarkan kemarahan dan mengeraskan tabiat. Orang yang pandai tentu tidak akan mudah mencela setiap kali saudaranya melakukan kekeliruan baik yang kecil ataupun besar. Bahkan sudah semestinya dia mencari alasan untuk bisa memaklumi dan menutupi aibnya tersebut. Kalaupun memang ada sebab yang mengharuskan celaan maka hendaknya dia mencela dengan cara yang baik dan lembut.

16. Tidak Suka Mencaci Maki Orang Lain

Sikap suka mencaci orang akan memicu permusuhan dan membuat gelisah hati dan pikiran. Dan secara otomatis akhlaknya akan memburuk akibat kebiasaan yang dilakukannya itu.

17. Memosisikan Diri Sebagaimana Lawannya

Dengan pandangan seperti ini maka kita akan mudah memberikan toleransi atas kesalahan orang lain, sehingga kita akan lebih kuat menahan luapan amarah, dan jauh dari berprasangka buruk kepadanya. Hendaknya kita menyikapi orang lain sebagaimana sikap yang kita sukai dilakukan oleh orang lain kepada kita.

18. Menjadikan Orang Lain Sebagai Cerminan Bagi Dirinya Sendiri

Hal ini sangat layak untuk dilakukan oleh setiap individu. Segala ucapan dan perbuatan yang tidak disukainya dari orang lain maka hendaknya dia jauhi. Dan apa saja yang disukainya dari perkara-perkara itu hendaknya dia lakukan.

19. Bersahabat Dengan Orang Baik-Baik yang Berakhlak Mulia

Hal ini termasuk sebab terbesar yang akan bisa menempa seseorang agar bisa berakhlak mulia. Persahabatan banyak memberikan pengaruh kepada diri seseorang. Maka sudah semestinya setiap orang mencari teman yang baik dan dapat membantu dirinya dalam berbuat kebaikan dan menghalanginya dari kejelekan.

20. Sering-Sering Mengunjungi Orang yang Berakhlak Mulia

Diriwayatkan dari Al-Ahnaf bin Qais, dia mengatakan, “Dahulu kami bolak-balik mengunjungi Qais bin ‘Ashim dalam rangka mempelajari sikap lembut (hilm) sebagaimana halnya kami belajar ilmu fikih.” Walaupun bisa jadi orang yang berakhlak mulia itu bukan orang yang berilmu tinggi dan hanya orang biasa saja, hendaknya sering mengunjunginya untuk mempelajari akhlaknya. [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

Iklim kehidupan modern yang sangat dinamis, seringkali memaksa banyak manusia mencari terbosan-terobosan baru dan jalan alternatif agar berhasil memenangkan persaingan. Sayangnya banyak orang yang kurang sabar, kemudian mengambil jalan pintas yang salah atau menghalalkan segala cara demi meraih tujuan keberhasilannya. Mengapa demikian ? Inilah indikasi karena banyaknya manusia yang tidak kokoh jiwanya.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, mudah sekali kita menemukan orang yang mengaku beragama, pergi ke tempat-tempat ibadah, tetapi ketika dalam pekerjaan melakukan penyelewengan, korupsi, penipuan dan tindak pidana lainnya yang tidak sesusai dengan akhlaq umat beragama. Mengapa demikian ? Inilah indikasi bahwa banyak manusia yang meskipun mungkin beragama tetapi lemah jiwanya. Tidak berkualitas jiwanya.

Mudah kita menemukan orang yang terlihat meraih sukses profesional dalam karier dan bisnis, tetapi kesuksesannya tidak memberikan makna bagi hidupnya. Meskipun berhasil meraih kekayaan yang berlimpah, namun kekayaannya tidak memberikan arti bagi kualitas kebahagiaan hidupnya. Bahkan banyak yang berakhir dengan kesia-siaan dan kegagalan hidup. Mengapa demikian ? Inilah akibat dari manusia yang lemah jiwanya.

Bagaimana mendongkrak kekuatan jiwa kita ? Bagaimana meningkatkan kualitas jiwa kita ?

1. Memahami Hakekat Hidup

Melakukan "inner journey" ke dalam diri kita sendiri dapat mengantarkan manusia menemukan hakekat hidupnya. Mereka yang mengenali dirinya akan dapat menemukan siapa Tuhannya yang sebenarnya. Pada akhirnya akan dapat memahami posisi dirinya dan mengerti tujuan tertinggi hidupnya. Memahami hakekat hidup ini dapat mengantarkan manusia memiliki kekuatan jiwa. Karena manusia dapat memahami siapa dirinya dan siapa Tuihannya yang sebenarnya.

2. Mencari ilmu lebih besar

Mencari ilmu lebih besar dari mencari harta. Karena orang yang berilmu tinggi tidak akan mudah tergoda oleh berbagai hal yang dapat melemahkan jiwanya. Sayangnya kecenderungan yang terjadi banyak manusia yang lebih besar mencari harta dari pada mencari ilmu. Akibatnya mudah tergoda melalui cara yang salah, mendewakan harta dan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan kekayaan harta. Mudah terjebak dalam godaan kehidupan dunia dengan mengabaikan nilai-nilai spiritualitas kebenaran.

Sedangkan orang yang berilmu akan kuat jiwanya, karena dirinya mengetahui pintu-pintu syaithan dan lebih mampu menjaga ibadahnya, menjaga kekayaannya, menjaga kekuasaannya, menjaga kehidupannya dari riya dengan ilmu (ma'rifat)-nya yang dalam.

3. Mengendalikan Ego Dan Nafsu

Seorang ulama Ibnu Qoyyim Az-Zaujiyah berkata : "Syahwat itu seperti kuda liar. Untuk menjinakkannya dan menaikinya perlu waktu lama dan pengorbanan yang tidak sedikit Karena itu jadilah orang yang mengendalikan kuda."

Inilah perang terbesar sesungguhnya dalam kehidupan manusia. Banyak manusia yang kalah dan akhirnya menjadi orang yang berjiwa lemah. Terjerumus dalam kekangan hawa nafsunya. Mereka memperturutkan hawa nafsunya dengan menghalalkan segala cara.

Ego dan nafsu seringkali membawa seseorang pada perasaan serba kurang, serba tidak cukup, merasa tidak pernah puas dengan apa yang diraih, sehingga menjadi manusia yang tidak mudah bersyukur. Hidup seperti ini menjadikan jiwanya lemah dan serba tidak damai dalam hatinya. Namun sebaliknya mereka yang memiliki kemampuan mengendalikan ego dan nafsu pribadinya akan menjadi manusia yang mudah bersyukur dan menjadikan dirinya selalu merasa hidupnya berkecukupan dan damai.

4. Keseimbangan Hidup

Orang bijak mengatakan, "Barangsiapa yang mengejar dunia semata, maka dunia akan semakin menjauh dan semakin tak terkejar. Tetapi, barangsiapa yang mengejar akhirat dengan keikhlasan hatinya, maka yakinlah bahwa dunia akan mengejarnya." Maknanya adalah bagaimana kita dapat menyeimbangkan kehidupan ini dengan tetap realistis dalam kehidupan modern ini tanpa mengabaikan tujuan tertinggi kehidupan akhirat nanti.

Berusaha memperjuangkan keberhasilan professional dalam karier dan Bisnis, dengan tidak mengabaikan nilai-nilai kekayaan hati nurani. Meraih simbul-simbul kesuksesan duniawi melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syariat yang ditetapkan Tuhan. Dapat menggunakan simbul-simbul kesuksesan duniawi yang diperolehnya untuk memberikan manfaat bagi kesuksesan kehidupan akhiratnya. Inilah yang saya maksukan dengan memandang kehidupan dengan seimbang. Tetap realistis dalam kehidupan modern dengan tetap memiliki idealisme pada nilai-nilai spiritualitas. SEMOGA BERMANFAAT.
Picture
Perbedaan antara ORANG GAGAL DAN SUKSES bukan sekedar terletak pada modal dan pengetahuannya, tapi lebih dari itu, karena kuatnya hasrat mereka dalam memperjuangkan kesuksesan.
MENGOBATI PENYAKIT HATI DENGAN AL QUR’AN

Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)

Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين

“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.

PERJUANGAN MERAIH HIDAYAH

Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.

Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”

ISTIQAMAH DI ATAS JALAN YANG LURUS Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”

Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati.

Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)

Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan yang lurus, dan semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk membersihkan segenap gerak-gerik hati dan anggota badan kita dari noda syirik, bid’ah, dan kemaksiatan sehingga kita akan bisa menikmati ketentraman dan hidayah yang sempurna; baik ketika di dunia maupun nanti ketika di akherat.